Wednesday 26 February 2014

LAZCOR FAIR 2014


Thursday 20 February 2014

GUNDALazCor " Komunitas Pecinta Alam "

Salam, dear Lazers,
Alhamdulillah komunitas Gundala Lazcor telah sukses mengawali kegiatan eksternalnya di Pantai Carita Banten.  Kegiatan tersebut berlangsung selama 2 (dua) hari (Sabtu-Minggu) di bulan Januari 2014 yang lalu. Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak/Ibu yang telah mempercayai dan mensupport kami untuk mengikutsertakan ananda di kegiatan “Komunitas Gundala Lazcor” ini. Kita berharap semoga kedepan ananda semakin meningkat kedisiplinannya, kemandirian, kerjasama tim, dan kepedulian terhadap sesama dan lingkungannya.
Sebagai informasi,  Komunitas Gundala Lazcor akan melaksanakan agenda/kegiatan rutin berikutnya, bertema ’Lingkungan Alam 2” yang pusat kegiatannya difokuskan di daerah pegunungan (Gunung Salak dan sekitarnya). Yang bertujuan untuk menyempurnakan kemampuan dasar ketahanan fisik yang sudah dimiliki ananda, peningkatan adaptasi iklim dan lingkungan yang berbeda, serta meningkatkan kepekaan ananda, kepedulian terhadap lingkungan dan sesama. Kegiatan tersebut in sya Allah akan dilaksanakan pada :
Hari Sabtu - Minggu, 29 – 30 Maret 2014
di Gunung Salak dan sekitarnya, Desa Pamijahan Bogor, Jawa Barat
Waktu berangkat hari sabtu pukul 06.30 – Pulang pukul 20.00 WIB
Detail acara menyusul.
Beberapa hal yang ananda harus perhatikan dan persiapkan diantaranya :
  • Obat-obatan pribadi
  • Pakaian ganti lengkap (bukan Jeans)
  • Perlengkapan makan dan minum (piring, gelas, sendok)
  • Perlengkapan mandi
  • Tali Pramuka warna putih
  • Perlengkapan tidur (selimut, Sleeping Bag, sweater)
  • Jas hujan
  • Snack ringan
  • Uang iuran anggota untuk kegiatan bulan Maret 2014 sebesar Rp. 300.000,- (untuk keperluan Konsumsi (Makan & Snack), beli kebutuhan barang komunitas, transportasi, Sewa lokasi, Beli tenda, obat-obatan umum, dll. Iuran anggota bisa berubah-ubah disesuaikan dengan tempat pelaksanaan kegiatan)
  • Emergency Lamp/Senter
  • Tidak diperkenankan membawa dan memakai perhiasan dan HP
Demikian pemberitahuan ini kami sampaikan, atas perhatian dan kerja sama Bapak/Ibu, kami ucapkan terima kasih.
Wassalam,
PJ GUNDALA
Mr. Hadi Saputra
Contact Person : Mr. Hadi : 081282751800, Mr. Niswan 081296287319
NB : Kuota peserta max. 30 orang.

Tuesday 11 February 2014

Antara IQ, EQ dan SQ

Pada tahun 80-an, seorang ahli psikologi dari Harvard, Daniel Goleman, memperkenalkan sejenis ukuran kecerdasan lain yang di sebut kecerdasan emosional (Emotional Quotient atau di singkat denganEQ).
EQ mencakup 2 hal, Pertama, kemampuan mengolah emosi sedemikian, sehingga sebaliknya dari bersifat destruktif ia justru mendukung munculnya sikap-sikap positif seseorang dalam menghadapi situasi seperti apa pun juga.
Kedua, kemampuan untuk memahami emosi orang lain- dengan kata lain, kemampuan berempati- sedemikian, sehingga kita mampu bersikap sesuai dengan yang diharapkan oleh orang tersebut.
Penelitiannya, dan banyak penelitian lain yang ilakukan setelah itu, menunjukkan bahwa orang-orang sukses umumnya bukanlah orang yang semata-mata memilki IQ tinggi, melainkan justru EQ yang tinggi. Kenapa? Karena orang-orang yang ber-EQ tinggi, disamping selalu bisa mengendalikan emosinya sedemikian, sehingga seluruh sikap dan responnya terkendali dan terencana, juga mampu menarik simpati orang lain sehingga mereka pun mendukungnya.
Menurut Goleman, EQ adalah prasyarat dasar untuk menggunakan IQ secara efektif. Dengan kata lain, EQ mengarah pada IQ. Kabar baiknya, tak seperti IQ yang umumnya dianggap tak bisa ditingkatkan alias sudah merupakan bawaan lahir, EQ diyakini bisa dilatih dan ditingkatkan terus menerus.
Para ahli saat ini terus meneliti dan mencari kiat-kiat peningkatan EQ ini. Kiat tersebut menyangkut kemampuan kita untuk: mengonfrontasikan emosi-emosi kita —dan bukan lari dari padanya—mengenalinya, berdialog dengannya, dan akhirnya- bukan hanya berdamai, melainkan mengendalikannya agar tidak destruktif dan justru menjadi positif.
Belakangan diperkenalkan lagi jenis lain ukuran kcerdasan, yakni Spiritual Quotient (SQ). Pengembangan teori SQ dirintis oleh suami-isteri Danah Zohar dan Ian Marshal. Jika EQ mengajar kita bersikap dalam setiap situasi emosional, SQ memberi makna bagi segenap tindakan-tindakan kita.
Dengan kata lain, EQ terkait dengan perasaaan- bersifat lebih praktis(know how), sedangkan SQ terkait dengan sikap-sikap reflektif(know why)
SQ terkait dengan adanya kebutuhan manusia untuk merasa tentram karena merasa memahami makna dan hakikat hidup, yakni dengan mengetahui ke arah mana hidupnya menuju dan merasa memiliki “teman” yang bisa diandalkan dalam segenap pancaroba kehidupan. “Teman” yang dimaksud di sini barangkali adalah, seperti yang, sejak lebih seabad lalu,disebut oleh William James, “Sang Sahabat Agung” (The Great Socius), yakni Tuhan.
Zohar dan Marshall mengklaim bahwa SQ merupakan landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Dengan kata lain, SQ-lah yang mengarahkan IQ dan EQ. Dalam khazanah keagamaan, SQ terkait erat dengan pendidikan jiwa atau pembersihan hati melalui berbagai latihan/disiplin spiritual yang, pada gilirannya, akan melahirkan akhlak yang mulia.  

Biarkanlah Mereka Tetap "Kritis"

Bulan Desember 2013 tepatnya tanggal 13, pengumuman hasil tes PISA (Programme for International Student Assessment) oleh OECD (organisasi kerjasama enokomi negara berkembang), tidaklah mengejutkan dan syok, seperti tahun-tahun sebelumnya negeri yang indah ini selalu 5 besar dari bawah. Bahkan untuk tahun ini kita nomor 2 dari bawah. PISA adalah tes yang menggabungkan kemampuan siswa dalam urusan matematika & sains dengan kehidupan sehari-hari ditambah penilaian kemampuan membaca. Tes ini sangat membutuhkan kemampuan anak-anak dalam mengoptimalkan daya nalar analisisnya,  juga dituntut untuk berfikir lateral, tidak lagi literal. Bahkan, dalam tes ini anak-anak diharuskan dapat memahami konteks soal dalam kehidupan nyata, karena soal-soal yang dibuat selalu melekat dengan kehidupan nyata. Disini kita tidak sendang membahas soal-soal PISA secara teknis, tetapi lebih menyoroti tata kelola penddidikan kita dalam memenuhi tuntunan modernitas dunia yang semakin cepat melampaui prediksi siapapun di dunia, dan tentunya sangat berpengaruh terhadap hasil tes seperti PISA. Dan sesungguhnya, dalam Ujian Nasional bahkan olympiade kita selalu dalam predikat sangat memuaskan tetapi dalam tes PISA kita kedodoran. 

Fakta Pendidikan Kita
Pendidikan atau sekolah “kebanyakan” mengejar target-target kognitif tingkat rendah, anak-anak diminta dan diharuskan mampu matematika dan sains sejak dini, tetapi abai terhadap kemampuan tingkat tinggi (kongnitif tingkat tinggi), anak-anak cenderung menghafal rumus-rumus dan angka-angka tanpa tahu makna sesungguhnya dibaliknya. Anak-anak tercerabut imajinasi dan keluguannya, demi mengejar nilai akademik yang tinggi. Betapa, kita sebagai guru dan orang tua murid galau, ketika anak-anak akan menghadpai ujian, kita siap dan rela berkorban berjuta-juta untuk drilling agar sukses dalam ujian. Untuk urusan kognitif yang tingkat tinggi saja kita seringkali abai, apalagi terkait dengan vocational anak-anak. Sudah menjadi rahasia umum, anak-anak adalah ibarat pelangi, begitu indah dilihat, tetapi ketika masuk sekolah anak-anak sudah menjadi satu warna –menjadi bukan pelangi- dan tidak indah lagi, anak-anak disamaratakan hanya diukur dari kemampuan anak dalam menyelesaikan soal-soal ujian. Kita jarang menemukan anak-anak yang begitu kasmaran dengan keilmuan, karena anak-anak telah “dibunuh” imajinasinya. Anak-anak telah mengalami learning shutdown. Awal mula anak-anak sangat antusias bersekolah, tetapi karena sistem pendidikan yang tidak membrikan ruang “kegilaan” bagi mereka, sirna lah semua.
Seringkali kita tidak senang dan tidak nyaman ketika anak-anak mengambil robekan kertas dekat kita dan kemudian mereka memainkannya, seolah-seolah sedang menjadi teknokrat maupun seorang dalang. Lantas kita menegurnya dan mengatakan “buang dan menjijikan, itu sampah !!”. Seketika itu pula anak-anak berkesimpulan yes itu sampah dan saya harus membuangnya. Berikutnya mereka tidak akan berani lagi berimajinasi lagi tentang kertas robekan yang mungkin sangat berguna bagi dia, sebagai seorang “teknokrat” mupun “dalang”
Begitu pula di kelas, anak-anak telah dibunuh nalar kritisnya, karena berdalih anak banyak ngomong dan bikin gaduh atau lari-lari di dalam kelas. Padahal kegaduhan maupun lari-larinya anak-anak itu seolah-olah mereka sedang ingin menunjukkan pada guru-gurunya, bahwa ini loh saya, dan saya tidak butuh cara mengajar kamu yang ceramah terus, ajak larilah saya maka aku akan menangkap dan mengerti apa yang kamu sampaikan.
Selain itu, anak-anak diberikan tugas menghafal rumus-rumus dan tata cara aritmatika maupun algoritma, padahal tidak tahu buat apa hitungan-hitungan yang bikin stres ini. Alih-alih anak dapat paham terhadap pelajaran yang ada justru menjadi semakin benci dan benci, inilah yang disebut learning shutdown.
Adakah Harapan Baru?
Pasti ada, itu jawabanya. Rumah dan sekolah harus menjadi tempat yang nyaman bagi anak-anak kita. Lantas, bagaimana caranya ?
Rumah seyognya menjadi pijakan utama dalam tumbuh kembang anak, orang tua dan keluarga menjadi partner yang hangat bagi anak-anak. Untuk menjadi hangat, luangkan waktu buat anak-anak kita, tinggalkan sejenak gadget dan pekerjaan kita. Membaca buku bersama-sama juga menjadi solusi yang baik untuk anak-anak kita.
Kadang-kadang, perlu juga kita sebagai orang tua memberikan keluasaan kepada anak-anak kita untuk bereksplorasi di rumah, bahkan juga kadang membuat rumah kita berantakan, cukup kita memberi pengertian setelah selesai, mereka harus bertanggung jawab untuk merapikan kembali.
Mengajak anak-anak ke tempat yang menurut kita sering menjadi masalah – pasar tradisional, tempat kumuh, alam terbuka dll- itu juga dapat membantu anak-anak kita lebih peka dan memiliki sensitifitas terhadap persoalan, yang akhirnya dapat memberikan alternatif solusi yang tidak pernah kita duga.
Untuk sekolah, tentu ini sama-sama tidak lebih ringan daripada tugas di rumah. Ini sangat erat kaitanya dengan tata kelola pengajaran di sekolah, yaitu bagimana sikap guru dalam pembelajaran di kelas. Guru tidak bisa lagi hanya berfokus pada capaian-capain konginitif tingkat rendah alias menghafal dan memahami sebuah soal-soal dalam mata pelajaran.
Guru-guru harus menjadi jembatan –bukan lagi pengajar- bagi anak-anak. Guru dapat memberikan ruang yang terbuka bagi anak-anak untuk selalu kritis terhadap pelajaran. Dalam pendekatan Mindy Kornhaber (2004) dalam setiap pembelajaran haruslah menyentuh ceruk kecerdasan majemuknya. Menjadi penting ketika guru mengajar haruslah menggunakan multi pendekatan. Anak-anak harus dibawa kedalam dunia yang nyata, bukan hanya dunia yang diluar nalar mereka.
Dalam teknik pembuatan soal pun guru harus mawas diri apakah pertanyaan-pertanyaan yang telah dibuat sudah mencakup cara berfikir tingkat yang lebih tinggi. Guru seharusnya sudah mengurangi pertanyaan-pertanyaan model-model sebutkan, benar atau salah, urutkan dan seterusnya, tetapi sudah harus menjelajah lebih jauh yaitu dengan pertanyaan-pertanyaan yang berisi ; membandingkan, memprediksi, sebab akibat, bagaimana menyelesaikanya dan seterusnya.
Tentunya, guru-guru dalam memberikan soal mapun pengajaran dalam kelas, harus tetap berpijak pada konsep yang menyenangkan, tanpa tekanan, sehingga imajinasi, kepolosan dan keingin tahuan anak-anak tertap terjaga.
Kita yakin ketika semua terpenuhi, soal-soal PISA yang diberikan itu akan terlahap dengan mudah, di rumah maupun di sekolah anak-anak sudah terbiasa kritis, dan imajinatif tanpa meninggalkan nilai-nilai luhur yang disepakati bersama, dan akhirnya pasti kita tidak lagi menjadi urutan buncit. Wallahu a’lam.
By Edi Slamet @edislatem12

Memahami Kembali Keberagaman Anak-Anak Kita

Seorang kawan menceritakan anaknya yang selalu mengeluh dan tidak berminat sekolah kembali karena teman-teman di sekolahnya mengatakan “goblok” kepada anaknya hanya karena tidak bisa mengerjakan matematika. Mungkin juga, kejadian ini pernah kita alami waktu kita masih sekolah sebelumnya baik di tingkat sekolah dasar maupun sekolah lanjutan.
Armstrong –salah satu ahli multiple intelligencies- pernah berujar, jangan pernah kamu ajari burung untuk berenang, ikan untuk terbang, maka yang ada burung akan kehilangan kemampuannya untuk terbang, dan ikan tidak akan mampu berenang kembali. Artinya, bahwa setiap individu telah memiliki kecenderungan dan gaya yang berbeda-beda. Maka, vonis-vonis terhadap anak seperti kawan tadi sangat lah tidak dibenarkan.
Demikian juga anak-anak, mereka dilahirkan dengan segala kesempurnaan yang diberikan Tuhan, dan juga dengan lautan potensi yang berbeda-beda. Yang tentunya tidak sama satu dengan yang lainya.
Sering kita melihat dan merasakan teman-teman waktu sekolah, yang matematika maupun IPA nya diatas rata-rata, ternyata kehidupan mereka tidak lebih baik dari pada teman yang lain. Bahkan, sering kita jumpai, teman bermain kita, sering dapat julukan“nakal”, “bodoh” dan sebagainya, ternyata diantara mereka banyak juga, telah menjadi pengusaha yang sukses, pimpinan perusahaan besar, bahkan menjadi seorang ulama.
Ini membuktikan yang sebelumnya disebut cerdas hanya terbatas pada anak-anak yang dapat nilai baik dalam hal matematika dan sains saja, tetapi pada kenyataan saat ini bukti-bukti bahwa kecerdasan hanya sesempit itu sudah bergeser dan menjadi lebih luas. Pandangan ini diwakili oleh Howar Gardner yang memberikan gambaran anak-anak atau setiap inividu memiliki kecerdasan yang beragam, paling tidak; kecerdasan logis dan matematik, linguisitik, kinestetik, intrapersonal, interpersonal, spasial, musical dan natural.
Implikasi teori ini tentu akan sangat besar, pertama, tidak mungkin anak-anak yang memiliki kecerdasan berebeda kemudian di perlombakan atau diadu dengan ukuran sama. Artinya, apakah mungkin anak-anak dengan kecerdasan musical lebih baik versus anak-anak yang kinestetiknya dominan diadu lomba bermain piano, ataupun sebaliknya dengan lomba bermain sepak bola. Maka, yang mungkin adalah mengadu dengan level kecerdasannya sama atau setidaknya mirip.
Kedua, dengan paradigma ini maka penilaian dalam belajar pun juga harus tidak sama, penilaian harus menekankan pada proses bukan pada hasil, ini yang disebut ountentik assessment. Anak yang starting point kemampuan menghitungnya 1 dan teman kelasnya yang sudah di level 5 kemudian dalam proses belajar yang pertama memiliki hasil akhir 5 sementara yang kedua adalah 7, maka yang harus mendapatkan nilai lebih baik adalah anak yang pertama.
Implikasi yang ketiga adalah, setiap insan pendidik tentu harus memahami segala potensi yang dimiliki oleh anak-anak didiknya, artinya pemetaan terhadap kecerdasan anak-anak menjadi penting. Sehingga, pendekatan dalam mengajar juga akan sangat beragam, tidak mungkin anak-anak yang memiliki kecerdasan kinestettik yang tinggi, akan mampu menyerap pembelajaran dikelas dengan model ceramah, yang lebih sepadan dengan kondisi anak ini adalah belajar yg menggunakan media gerakan tubuhnya dan moving class, karena dengan gerak dan selalu aktif memuat anak seperti ini lebih nyaman dengan dirinya. Begitu juga anak-anak yang kecerdasan naturalnya lebih tinggi, akan lebih mudah menerima pembalajaran apapun ketika di luar ruangan dan bersanding dengan alam sekitar dan lingkungan. Dengan kondisi yang sedemkian rupa, guru dituntut memiliki pemahaman komprehensif terhadap metode pengajaran yang beragam yang disesuaikan dengan kondisi anak-anak di dalam kelas.
Keempat, untuk orang tua tidak perlu memakasakan diri untuk berfikir seperti dirinya kepada anak-anaknya. Sejalan dengan ungkapan Imam Ali “didiklah anak-anakmu untuk waktu yang tidak sama denganmu”. Karena potensi dan kecerdasan anak berbeda-beda, kita sebagai orang tua mesti membekali diri anak-anak kita dengan cara-cara yang berbeda. Semua tidak akan pernah tahu masa depan seperti apa, tetapi kita tahu bahwa dengan keaneka ragaman dan penyelesaian masalah dengan baik, membuat anak-anak akan mampu survive, dan inilah yang disebut Rhenald Kasali sebagai kurikulumnya orang tua.
Penting bagi kita bersama dengan potensi anak yang beragam dan kondisi zaman yang semakin tidak terprediksi, bergandengan tangan untuk membuat anak-anak kita menjadi kokoh dan mampu menyelesaikan diri sendiri syukur-syukur untuk lingkungan sekitar. Tidak terbatas pada sekolah tetapi juga orang tua dan masyarakat pada umumnya, memberikan tempat yang layak atas heterogenitas anak-anak, sehingga anak-anak tumbuh menjadi insan yang bahagia dan memiliki akhlaq mulia. Wallahu a’lam.
by Edi Slamet @edislatem12

Sekolah yang membahagiakan

Siapapun orang tua, pasti menghendaki anak-anaknya selalu sukses dan jauh lebih penting mampu meraih apa yang diinginkan. Anak-anak yang selalu ceria, penuh canda tawa dan tidak merasa terbebani atas semua kehidupan ini. Dimana, ketika berangkat sekolah selalu dengan semangat menggelora, belajar dengan nilai yang muaskan, dan ketika pulang tetap dengan senyum penuh kepuasan. Itu semua adalah idealisme dan keinginan besar setiap orang tua.
Mungkinkah, mimpi-mimpi itu dapat digapai. Nyatanya, anak-anak setelah bangun dari tidur sudah dikejar-kejar waktu dengan jadwal yang ketat, tidur larut malam hanya untuk menyelesaikan pekerjaan rumah (PR), dan lagi-lagi disekolah mereka harus ketemu dengan pelajaran yang seabrek dan dituntut harus selesai dalam waktu satu semester atau tahun ajaran. Ditambah lagi, ternyata banyak dari kita –sebagai orang tua- ikut arus dan mengikuti pola yang sudah ada, tanpa memberikan ruang gerak bagi anak-anak untuk “bernafas dan tersenyum”, dan lebih ironi lagi kepulangan kita lebih sering larut sehingga anak-anak jarang dihantarkan tidur dengan cerita-cerita “kancil mencuri timun” atau cerita kepahlawanan “batman dan spiderman” atau cerita yang lain, bahkan setelah bangunpun anak-anak sudah jarang bertemu dengan kita, karena kedauluan berangkat ke kantor.
Jika sudah demikian rasanya sulit menggapainya bukan! Saya katakan tidak sulit asal kita mau, atau paling tidak menguranginya. Kita bukan orang-orang yang disebut sebagai Epicurian –filosof yunani kuno- dimana kebahagian anak-anak hanya diukur dengan aspek kepuasan atau bahkan kita juga bukan Bhetamian –Jeremy Bhetam, filosof Inggris- dimana kebahagiaan hanya diukur oleh seberapa besar capaian-capain kesuksesan materi yang di dapat. Tetapi, anak-anak adalah makhluk yang unik penuh dengan misteri, masa depanya penuh dengan teka teki. Tidak ada satupun orang tua di dunia ini mampu memprediksi secara akurat anak-anaknya akan menjadi apa dan seperti apa.
Lantas seberapa penting kita sebagai orang tua mampu menyiapkan ini semua untuk kebahagiaannya. Anak-anak selalu memiliki tiga “sekolah” –sengaja menyebut sekolah untuk memberikan gambaran tempat mendidik-, sekolah pertama adalah orang tuanya, kedua adalah lingkungannya dan yang ketiga adalah sekolah formalmya. Sekolah yang pertama terkait dengan keluarga, dimana dari sini anak-anak menerima pembelajaran pertama. Peran orang tua dalam memberikan setimulus terhadap anak sangat besar, anak bisa tampil memukau di masa datang jika orang tua dapat memberikan stimulus yang baik bagi anak-anaknya. Orang tua dapat melatih anak-anak lebih peduli dengan siapa dan apapun, jika anak-diberikan bukti-bukti relitas sosial maupun lingkungan yang seringkali berbeda dengan idealnya. Anak-anak dapat belajar tentang kejujuran, ketika orang tua selalu mengajarkan bagaimana janji-janji yang disampaikan selalu ditepati. Dalam peran orang tua pula, anak-anak harus mendapatkan waktu yang cukup dalam berinteraksi, ketika anak-anak merasa dikasihi dan disayangi akhirnya membuat mereka merasa nyaman dan berfikir positif dengan siapapun. Bagi orang tua yang sibuk bekerja, berikan waktu –baik secara kualitas maupun kauntitas- kepada anak-anak kita, sesungguhnya anak-anak membutuhkan itu semua, bukan sekedar mainan dan belanja atau jalan ditempat-tempat yang mewah dan menyenangkan.
Hal kedua, sekolah lingkungan, mungkin orang melihat sangat sepele, padahal sama sekali tidak. Betapa, lingkungan mampu membetuk cara pikir dan perilaku anak. Contoh sederhana, di rumah anak-anak tidak pernah diajari berbicara tidak sopan, tetapi keluar sebentar dan bergaul dengan teman sebaya, anak-anak sudah langsung mampu merekam kata-kata yang tidak sopan. Itulah realitanya. Lantas sikap kita sebagai orang tua seperti apa. Tentu idealnya setiap anak harus bergaul dan bersosialisasi dengan lingkungan yang betul-betul seperti yang kita inginkan. Nyatanya, sulit sekali menemukan itu, sikap yang harus yang diambil sebagai orang tua harusnya adalah membekali anak-dengan kecakapan berfikir dan sikap. Membuat naka-anak seteril bukan solusi, tetapi membuat anak-anak lebih imun adalah pilihan terbaik.
Yang ketiga adalah sekolah yang sesungguhnya “formal”. Meskipun ini hanya salah satu dari tiga “sekolah” tersebut, memiliki peran yang sangat vital. Dari sekolah formal inilah dua yang lainya dapat diintervensi. Seringkali, dirumah maupun dilingkungan bermain anak-anak, masalah itu akan terekam dengan baik di sekolah formal. Biasanya sikap-sikap yang keluar dari garis normal dapat dipantau dari sekolah. Dan sekolahlah yang seringkali menelisik dan menganalisa dari mana akar masalah muncul dan bagaimana diselesaikanya.
Sekolah formal harusnya memiliki visi dan misi untuk mendukung anak-anak tetap nyaman dan bahagia. Bukan hanya sekedar visi misi maupun prosedur standar operasional, tetapi sekolah harus mampu memberikan rasa nyaman itu, secara praktis.
Pembelajaran di dalam kelas harus memberikan keleluasan anak-anak menjadi kritis dan kasmaran. Tidak mungkin suasana yang penuh dengan tekanan akan menghasilkan anak-anak yang bahagia dalam belajarnya. Sama ketidakmungkinannya, guru mengajarkan matematika tetapi dengan tekanan dengan menghapal rumus-rumus yang betul-betul membuat dahi anak-anak kita berkerut terlalu dalam. Alangkah indahnya, ketika guru-guru memberikan pembelajaran dengan berbasis proyek atau masalah. Anak-anak secara tidak sadar belajar banyak dari proyek-proyek itu. Ambil contoh ketika belajar tentang waktu maka anak-anak diajak melihat berapa menit dan berapa detik anak ayam berjalan dari garis yang di tentukan untuk menuju suatu titik. Kemudian anak-anak diminta membandingkan dengan jalanya siput. Dan terakhir anak-anak diminta maju dihadapan teman-temanya untuk bercerita tentang kejadian yang dialaminya. Dari model ini, anak-anak mendapatkan banyak hal, antara lain, pengalaman (eksperimen), naturalis (binatang-binatang), matematika (waktu), keberanian bicara dan kolaborasi (bersama-sama melihat proyek).
Belajar etika atau boleh disebut Pendidikan Kewarganegaraan ataupun bahkan Agama, tidak melulu bagaimana sebenarnya anak-anak menghafal dan mengigat sifat-sifat baik. Tetapi, lebih dari itu yang dinginkan anak-anak mampu melakukanya. Jadi tidak mungkin anak-anak akan mendapatkan hasil yang baik ketika pembelajaran bersifat kognitif -pemikiran dan analisa belaka- murni, tetapi harus mengedapankan pembelajaran yang berbasis praktek dan kehidupan sehari-hari. Artinya, anak-anak dituntuntut secara konsisten untuk selalu berbuat baik dengan penuh kesadaran.
Masih di dalam sekolah formal, anak-anak harus dihindarkan dari belajar hukuman atas kesalahan mereka dalam belajar di kelas. Hakikatnya sekolah adalah tempatnya anak-anak belajar untuk salah, ketika mereka dewasa akan belajar betapa berharganya untuk selalu bertindak benar. Dengan belajar penuh rasa ingin tahu tanpa terbebani rasa salah maka semua anak-anak kita semakin kasmaran dan tidak takut gagal.
Ketika tiga sekolahan tersebut  menjadi sekolah yang mebahagiakan bagi anak-anak, hampir bisa dipastikan, di masa yang akan datang anak-anak akan mampu berkopetisi dan juga beradaptasi dengan baik dengan segala perubahan kondisi. Dan akhirnya anak-anak mampu menyelesaikan masalah dirinya sendiri syukur-syukur mampu membantu lingkungan dan masyarakat sekitar. Layaklah kiranya kita menyambut anak-anak kita dengan mengatakan “Selamat Datang di Sekolah yang Membahagiakan”. Wallahu a’lam @edislatem12

Tuesday 4 February 2014

Ruang Pelangi " Terapis SI / OT "

Pelangi Lazuardi Cordova GIS membuka layanan terapi Sensori Integrasi dan Okupasi Terapi bagi anak-anakyang membutuhkan penanganan khusus, hal ini dapat membantu anak untuk melatih Konsentrasi/Fokus, Keseimbangan diri, dan Skill atau kemampuan yang harus dimiliki sesuai dengan usia perkembangan anak.

     Pelayanan:
     Terapis SI/OT

     Terapis:
     Ms. Dini, Amd OT & Ms. Citra Fitria, Sst.Ft (Fisioterapi)

     Waktu Terapi:
     Hari Senin, Selasa, dan Jum'at
     Sesi 1 = 14.00 - 15.00 WIB
     Sesi 2 = 15.00 - 16.00 WIB
  
     Biaya:
     Rp. 75.000/ sesi