Tuesday, 11 February 2014

Sekolah yang membahagiakan

Siapapun orang tua, pasti menghendaki anak-anaknya selalu sukses dan jauh lebih penting mampu meraih apa yang diinginkan. Anak-anak yang selalu ceria, penuh canda tawa dan tidak merasa terbebani atas semua kehidupan ini. Dimana, ketika berangkat sekolah selalu dengan semangat menggelora, belajar dengan nilai yang muaskan, dan ketika pulang tetap dengan senyum penuh kepuasan. Itu semua adalah idealisme dan keinginan besar setiap orang tua.
Mungkinkah, mimpi-mimpi itu dapat digapai. Nyatanya, anak-anak setelah bangun dari tidur sudah dikejar-kejar waktu dengan jadwal yang ketat, tidur larut malam hanya untuk menyelesaikan pekerjaan rumah (PR), dan lagi-lagi disekolah mereka harus ketemu dengan pelajaran yang seabrek dan dituntut harus selesai dalam waktu satu semester atau tahun ajaran. Ditambah lagi, ternyata banyak dari kita –sebagai orang tua- ikut arus dan mengikuti pola yang sudah ada, tanpa memberikan ruang gerak bagi anak-anak untuk “bernafas dan tersenyum”, dan lebih ironi lagi kepulangan kita lebih sering larut sehingga anak-anak jarang dihantarkan tidur dengan cerita-cerita “kancil mencuri timun” atau cerita kepahlawanan “batman dan spiderman” atau cerita yang lain, bahkan setelah bangunpun anak-anak sudah jarang bertemu dengan kita, karena kedauluan berangkat ke kantor.
Jika sudah demikian rasanya sulit menggapainya bukan! Saya katakan tidak sulit asal kita mau, atau paling tidak menguranginya. Kita bukan orang-orang yang disebut sebagai Epicurian –filosof yunani kuno- dimana kebahagian anak-anak hanya diukur dengan aspek kepuasan atau bahkan kita juga bukan Bhetamian –Jeremy Bhetam, filosof Inggris- dimana kebahagiaan hanya diukur oleh seberapa besar capaian-capain kesuksesan materi yang di dapat. Tetapi, anak-anak adalah makhluk yang unik penuh dengan misteri, masa depanya penuh dengan teka teki. Tidak ada satupun orang tua di dunia ini mampu memprediksi secara akurat anak-anaknya akan menjadi apa dan seperti apa.
Lantas seberapa penting kita sebagai orang tua mampu menyiapkan ini semua untuk kebahagiaannya. Anak-anak selalu memiliki tiga “sekolah” –sengaja menyebut sekolah untuk memberikan gambaran tempat mendidik-, sekolah pertama adalah orang tuanya, kedua adalah lingkungannya dan yang ketiga adalah sekolah formalmya. Sekolah yang pertama terkait dengan keluarga, dimana dari sini anak-anak menerima pembelajaran pertama. Peran orang tua dalam memberikan setimulus terhadap anak sangat besar, anak bisa tampil memukau di masa datang jika orang tua dapat memberikan stimulus yang baik bagi anak-anaknya. Orang tua dapat melatih anak-anak lebih peduli dengan siapa dan apapun, jika anak-diberikan bukti-bukti relitas sosial maupun lingkungan yang seringkali berbeda dengan idealnya. Anak-anak dapat belajar tentang kejujuran, ketika orang tua selalu mengajarkan bagaimana janji-janji yang disampaikan selalu ditepati. Dalam peran orang tua pula, anak-anak harus mendapatkan waktu yang cukup dalam berinteraksi, ketika anak-anak merasa dikasihi dan disayangi akhirnya membuat mereka merasa nyaman dan berfikir positif dengan siapapun. Bagi orang tua yang sibuk bekerja, berikan waktu –baik secara kualitas maupun kauntitas- kepada anak-anak kita, sesungguhnya anak-anak membutuhkan itu semua, bukan sekedar mainan dan belanja atau jalan ditempat-tempat yang mewah dan menyenangkan.
Hal kedua, sekolah lingkungan, mungkin orang melihat sangat sepele, padahal sama sekali tidak. Betapa, lingkungan mampu membetuk cara pikir dan perilaku anak. Contoh sederhana, di rumah anak-anak tidak pernah diajari berbicara tidak sopan, tetapi keluar sebentar dan bergaul dengan teman sebaya, anak-anak sudah langsung mampu merekam kata-kata yang tidak sopan. Itulah realitanya. Lantas sikap kita sebagai orang tua seperti apa. Tentu idealnya setiap anak harus bergaul dan bersosialisasi dengan lingkungan yang betul-betul seperti yang kita inginkan. Nyatanya, sulit sekali menemukan itu, sikap yang harus yang diambil sebagai orang tua harusnya adalah membekali anak-dengan kecakapan berfikir dan sikap. Membuat naka-anak seteril bukan solusi, tetapi membuat anak-anak lebih imun adalah pilihan terbaik.
Yang ketiga adalah sekolah yang sesungguhnya “formal”. Meskipun ini hanya salah satu dari tiga “sekolah” tersebut, memiliki peran yang sangat vital. Dari sekolah formal inilah dua yang lainya dapat diintervensi. Seringkali, dirumah maupun dilingkungan bermain anak-anak, masalah itu akan terekam dengan baik di sekolah formal. Biasanya sikap-sikap yang keluar dari garis normal dapat dipantau dari sekolah. Dan sekolahlah yang seringkali menelisik dan menganalisa dari mana akar masalah muncul dan bagaimana diselesaikanya.
Sekolah formal harusnya memiliki visi dan misi untuk mendukung anak-anak tetap nyaman dan bahagia. Bukan hanya sekedar visi misi maupun prosedur standar operasional, tetapi sekolah harus mampu memberikan rasa nyaman itu, secara praktis.
Pembelajaran di dalam kelas harus memberikan keleluasan anak-anak menjadi kritis dan kasmaran. Tidak mungkin suasana yang penuh dengan tekanan akan menghasilkan anak-anak yang bahagia dalam belajarnya. Sama ketidakmungkinannya, guru mengajarkan matematika tetapi dengan tekanan dengan menghapal rumus-rumus yang betul-betul membuat dahi anak-anak kita berkerut terlalu dalam. Alangkah indahnya, ketika guru-guru memberikan pembelajaran dengan berbasis proyek atau masalah. Anak-anak secara tidak sadar belajar banyak dari proyek-proyek itu. Ambil contoh ketika belajar tentang waktu maka anak-anak diajak melihat berapa menit dan berapa detik anak ayam berjalan dari garis yang di tentukan untuk menuju suatu titik. Kemudian anak-anak diminta membandingkan dengan jalanya siput. Dan terakhir anak-anak diminta maju dihadapan teman-temanya untuk bercerita tentang kejadian yang dialaminya. Dari model ini, anak-anak mendapatkan banyak hal, antara lain, pengalaman (eksperimen), naturalis (binatang-binatang), matematika (waktu), keberanian bicara dan kolaborasi (bersama-sama melihat proyek).
Belajar etika atau boleh disebut Pendidikan Kewarganegaraan ataupun bahkan Agama, tidak melulu bagaimana sebenarnya anak-anak menghafal dan mengigat sifat-sifat baik. Tetapi, lebih dari itu yang dinginkan anak-anak mampu melakukanya. Jadi tidak mungkin anak-anak akan mendapatkan hasil yang baik ketika pembelajaran bersifat kognitif -pemikiran dan analisa belaka- murni, tetapi harus mengedapankan pembelajaran yang berbasis praktek dan kehidupan sehari-hari. Artinya, anak-anak dituntuntut secara konsisten untuk selalu berbuat baik dengan penuh kesadaran.
Masih di dalam sekolah formal, anak-anak harus dihindarkan dari belajar hukuman atas kesalahan mereka dalam belajar di kelas. Hakikatnya sekolah adalah tempatnya anak-anak belajar untuk salah, ketika mereka dewasa akan belajar betapa berharganya untuk selalu bertindak benar. Dengan belajar penuh rasa ingin tahu tanpa terbebani rasa salah maka semua anak-anak kita semakin kasmaran dan tidak takut gagal.
Ketika tiga sekolahan tersebut  menjadi sekolah yang mebahagiakan bagi anak-anak, hampir bisa dipastikan, di masa yang akan datang anak-anak akan mampu berkopetisi dan juga beradaptasi dengan baik dengan segala perubahan kondisi. Dan akhirnya anak-anak mampu menyelesaikan masalah dirinya sendiri syukur-syukur mampu membantu lingkungan dan masyarakat sekitar. Layaklah kiranya kita menyambut anak-anak kita dengan mengatakan “Selamat Datang di Sekolah yang Membahagiakan”. Wallahu a’lam @edislatem12