Siapapun orang tua, pasti menghendaki anak-anaknya selalu sukses dan
jauh lebih penting mampu meraih apa yang diinginkan. Anak-anak yang
selalu ceria, penuh canda tawa dan tidak merasa terbebani atas semua
kehidupan ini. Dimana, ketika berangkat sekolah selalu dengan semangat
menggelora, belajar dengan nilai yang muaskan, dan ketika pulang tetap
dengan senyum penuh kepuasan. Itu semua adalah idealisme dan keinginan
besar setiap orang tua.
Mungkinkah, mimpi-mimpi itu dapat digapai. Nyatanya, anak-anak
setelah bangun dari tidur sudah dikejar-kejar waktu dengan jadwal yang
ketat, tidur larut malam hanya untuk menyelesaikan pekerjaan rumah (PR),
dan lagi-lagi disekolah mereka harus ketemu dengan pelajaran yang
seabrek dan dituntut harus selesai dalam waktu satu semester atau tahun
ajaran. Ditambah lagi, ternyata banyak dari kita –sebagai orang tua-
ikut arus dan mengikuti pola yang sudah ada, tanpa memberikan ruang
gerak bagi anak-anak untuk “bernafas dan tersenyum”, dan lebih ironi
lagi kepulangan kita lebih sering larut sehingga anak-anak jarang
dihantarkan tidur dengan cerita-cerita “kancil mencuri timun” atau
cerita kepahlawanan “batman dan spiderman” atau cerita
yang lain, bahkan setelah bangunpun anak-anak sudah jarang bertemu
dengan kita, karena kedauluan berangkat ke kantor.
Jika sudah demikian rasanya sulit menggapainya bukan! Saya katakan
tidak sulit asal kita mau, atau paling tidak menguranginya. Kita bukan
orang-orang yang disebut sebagai Epicurian –filosof yunani kuno- dimana
kebahagian anak-anak hanya diukur dengan aspek kepuasan atau bahkan kita
juga bukan Bhetamian –Jeremy Bhetam, filosof Inggris- dimana
kebahagiaan hanya diukur oleh seberapa besar capaian-capain kesuksesan
materi yang di dapat. Tetapi, anak-anak adalah makhluk yang unik penuh
dengan misteri, masa depanya penuh dengan teka teki. Tidak ada satupun
orang tua di dunia ini mampu memprediksi secara akurat anak-anaknya akan
menjadi apa dan seperti apa.
Lantas seberapa penting kita sebagai orang tua mampu menyiapkan ini
semua untuk kebahagiaannya. Anak-anak selalu memiliki tiga “sekolah”
–sengaja menyebut sekolah untuk memberikan gambaran tempat mendidik-,
sekolah pertama adalah orang tuanya, kedua adalah lingkungannya dan yang
ketiga adalah sekolah formalmya. Sekolah yang pertama terkait dengan
keluarga, dimana dari sini anak-anak menerima pembelajaran pertama.
Peran orang tua dalam memberikan setimulus terhadap anak sangat besar,
anak bisa tampil memukau di masa datang jika orang tua dapat memberikan
stimulus yang baik bagi anak-anaknya. Orang tua dapat melatih anak-anak
lebih peduli dengan siapa dan apapun, jika anak-diberikan bukti-bukti
relitas sosial maupun lingkungan yang seringkali berbeda dengan
idealnya. Anak-anak dapat belajar tentang kejujuran, ketika orang tua
selalu mengajarkan bagaimana janji-janji yang disampaikan selalu
ditepati. Dalam peran orang tua pula, anak-anak harus mendapatkan waktu
yang cukup dalam berinteraksi, ketika anak-anak merasa dikasihi dan
disayangi akhirnya membuat mereka merasa nyaman dan berfikir positif
dengan siapapun. Bagi orang tua yang sibuk bekerja, berikan waktu –baik
secara kualitas maupun kauntitas- kepada anak-anak kita, sesungguhnya
anak-anak membutuhkan itu semua, bukan sekedar mainan dan belanja atau
jalan ditempat-tempat yang mewah dan menyenangkan.
Hal kedua, sekolah lingkungan, mungkin orang melihat sangat sepele,
padahal sama sekali tidak. Betapa, lingkungan mampu membetuk cara pikir
dan perilaku anak. Contoh sederhana, di rumah anak-anak tidak pernah
diajari berbicara tidak sopan, tetapi keluar sebentar dan bergaul dengan
teman sebaya, anak-anak sudah langsung mampu merekam kata-kata yang
tidak sopan. Itulah realitanya. Lantas sikap kita sebagai orang tua
seperti apa. Tentu idealnya setiap anak harus bergaul dan bersosialisasi
dengan lingkungan yang betul-betul seperti yang kita inginkan.
Nyatanya, sulit sekali menemukan itu, sikap yang harus yang diambil
sebagai orang tua harusnya adalah membekali anak-dengan kecakapan
berfikir dan sikap. Membuat naka-anak seteril bukan solusi, tetapi
membuat anak-anak lebih imun adalah pilihan terbaik.
Yang ketiga adalah sekolah yang sesungguhnya “formal”. Meskipun ini
hanya salah satu dari tiga “sekolah” tersebut, memiliki peran yang
sangat vital. Dari sekolah formal inilah dua yang lainya dapat
diintervensi. Seringkali, dirumah maupun dilingkungan bermain anak-anak,
masalah itu akan terekam dengan baik di sekolah formal. Biasanya
sikap-sikap yang keluar dari garis normal dapat dipantau dari sekolah.
Dan sekolahlah yang seringkali menelisik dan menganalisa dari mana akar
masalah muncul dan bagaimana diselesaikanya.
Sekolah formal harusnya memiliki visi dan misi untuk mendukung
anak-anak tetap nyaman dan bahagia. Bukan hanya sekedar visi misi maupun
prosedur standar operasional, tetapi sekolah harus mampu memberikan
rasa nyaman itu, secara praktis.
Pembelajaran di dalam kelas harus memberikan keleluasan anak-anak
menjadi kritis dan kasmaran. Tidak mungkin suasana yang penuh dengan
tekanan akan menghasilkan anak-anak yang bahagia dalam belajarnya. Sama
ketidakmungkinannya, guru mengajarkan matematika tetapi dengan tekanan
dengan menghapal rumus-rumus yang betul-betul membuat dahi anak-anak
kita berkerut terlalu dalam. Alangkah indahnya, ketika guru-guru
memberikan pembelajaran dengan berbasis proyek atau masalah. Anak-anak
secara tidak sadar belajar banyak dari proyek-proyek itu. Ambil contoh
ketika belajar tentang waktu maka anak-anak diajak melihat berapa menit
dan berapa detik anak ayam berjalan dari garis yang di tentukan untuk
menuju suatu titik. Kemudian anak-anak diminta membandingkan dengan
jalanya siput. Dan terakhir anak-anak diminta maju dihadapan
teman-temanya untuk bercerita tentang kejadian yang dialaminya. Dari
model ini, anak-anak mendapatkan banyak hal, antara lain, pengalaman
(eksperimen), naturalis (binatang-binatang), matematika (waktu),
keberanian bicara dan kolaborasi (bersama-sama melihat proyek).
Belajar etika atau boleh disebut Pendidikan Kewarganegaraan ataupun
bahkan Agama, tidak melulu bagaimana sebenarnya anak-anak menghafal dan
mengigat sifat-sifat baik. Tetapi, lebih dari itu yang dinginkan
anak-anak mampu melakukanya. Jadi tidak mungkin anak-anak akan
mendapatkan hasil yang baik ketika pembelajaran bersifat kognitif
-pemikiran dan analisa belaka- murni, tetapi harus mengedapankan
pembelajaran yang berbasis praktek dan kehidupan sehari-hari. Artinya,
anak-anak dituntuntut secara konsisten untuk selalu berbuat baik dengan
penuh kesadaran.
Masih di dalam sekolah formal, anak-anak harus dihindarkan dari
belajar hukuman atas kesalahan mereka dalam belajar di kelas. Hakikatnya
sekolah adalah tempatnya anak-anak belajar untuk salah, ketika mereka
dewasa akan belajar betapa berharganya untuk selalu bertindak benar.
Dengan belajar penuh rasa ingin tahu tanpa terbebani rasa salah maka
semua anak-anak kita semakin kasmaran dan tidak takut gagal.
Ketika tiga sekolahan tersebut menjadi sekolah yang mebahagiakan
bagi anak-anak, hampir bisa dipastikan, di masa yang akan datang
anak-anak akan mampu berkopetisi dan juga beradaptasi dengan baik dengan
segala perubahan kondisi. Dan akhirnya anak-anak mampu menyelesaikan
masalah dirinya sendiri syukur-syukur mampu membantu lingkungan dan
masyarakat sekitar. Layaklah kiranya kita menyambut anak-anak kita
dengan mengatakan “Selamat Datang di Sekolah yang Membahagiakan”. Wallahu a’lam @edislatem12