Tuesday, 11 February 2014

Antara IQ, EQ dan SQ

Pada tahun 80-an, seorang ahli psikologi dari Harvard, Daniel Goleman, memperkenalkan sejenis ukuran kecerdasan lain yang di sebut kecerdasan emosional (Emotional Quotient atau di singkat denganEQ).
EQ mencakup 2 hal, Pertama, kemampuan mengolah emosi sedemikian, sehingga sebaliknya dari bersifat destruktif ia justru mendukung munculnya sikap-sikap positif seseorang dalam menghadapi situasi seperti apa pun juga.
Kedua, kemampuan untuk memahami emosi orang lain- dengan kata lain, kemampuan berempati- sedemikian, sehingga kita mampu bersikap sesuai dengan yang diharapkan oleh orang tersebut.
Penelitiannya, dan banyak penelitian lain yang ilakukan setelah itu, menunjukkan bahwa orang-orang sukses umumnya bukanlah orang yang semata-mata memilki IQ tinggi, melainkan justru EQ yang tinggi. Kenapa? Karena orang-orang yang ber-EQ tinggi, disamping selalu bisa mengendalikan emosinya sedemikian, sehingga seluruh sikap dan responnya terkendali dan terencana, juga mampu menarik simpati orang lain sehingga mereka pun mendukungnya.
Menurut Goleman, EQ adalah prasyarat dasar untuk menggunakan IQ secara efektif. Dengan kata lain, EQ mengarah pada IQ. Kabar baiknya, tak seperti IQ yang umumnya dianggap tak bisa ditingkatkan alias sudah merupakan bawaan lahir, EQ diyakini bisa dilatih dan ditingkatkan terus menerus.
Para ahli saat ini terus meneliti dan mencari kiat-kiat peningkatan EQ ini. Kiat tersebut menyangkut kemampuan kita untuk: mengonfrontasikan emosi-emosi kita —dan bukan lari dari padanya—mengenalinya, berdialog dengannya, dan akhirnya- bukan hanya berdamai, melainkan mengendalikannya agar tidak destruktif dan justru menjadi positif.
Belakangan diperkenalkan lagi jenis lain ukuran kcerdasan, yakni Spiritual Quotient (SQ). Pengembangan teori SQ dirintis oleh suami-isteri Danah Zohar dan Ian Marshal. Jika EQ mengajar kita bersikap dalam setiap situasi emosional, SQ memberi makna bagi segenap tindakan-tindakan kita.
Dengan kata lain, EQ terkait dengan perasaaan- bersifat lebih praktis(know how), sedangkan SQ terkait dengan sikap-sikap reflektif(know why)
SQ terkait dengan adanya kebutuhan manusia untuk merasa tentram karena merasa memahami makna dan hakikat hidup, yakni dengan mengetahui ke arah mana hidupnya menuju dan merasa memiliki “teman” yang bisa diandalkan dalam segenap pancaroba kehidupan. “Teman” yang dimaksud di sini barangkali adalah, seperti yang, sejak lebih seabad lalu,disebut oleh William James, “Sang Sahabat Agung” (The Great Socius), yakni Tuhan.
Zohar dan Marshall mengklaim bahwa SQ merupakan landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Dengan kata lain, SQ-lah yang mengarahkan IQ dan EQ. Dalam khazanah keagamaan, SQ terkait erat dengan pendidikan jiwa atau pembersihan hati melalui berbagai latihan/disiplin spiritual yang, pada gilirannya, akan melahirkan akhlak yang mulia.