Pada tahun 80-an, seorang ahli psikologi dari Harvard, Daniel
Goleman, memperkenalkan sejenis ukuran kecerdasan lain yang di sebut
kecerdasan emosional (Emotional Quotient atau di singkat denganEQ).
EQ mencakup 2 hal, Pertama, kemampuan mengolah emosi sedemikian,
sehingga sebaliknya dari bersifat destruktif ia justru mendukung
munculnya sikap-sikap positif seseorang dalam menghadapi situasi seperti
apa pun juga.
Kedua, kemampuan untuk memahami emosi orang lain- dengan kata lain,
kemampuan berempati- sedemikian, sehingga kita mampu bersikap sesuai
dengan yang diharapkan oleh orang tersebut.
Penelitiannya, dan banyak penelitian lain yang ilakukan setelah itu,
menunjukkan bahwa orang-orang sukses umumnya bukanlah orang yang
semata-mata memilki IQ tinggi, melainkan justru EQ yang tinggi. Kenapa?
Karena orang-orang yang ber-EQ tinggi, disamping selalu bisa
mengendalikan emosinya sedemikian, sehingga seluruh sikap dan responnya
terkendali dan terencana, juga mampu menarik simpati orang lain sehingga
mereka pun mendukungnya.
Menurut Goleman, EQ adalah prasyarat dasar untuk menggunakan IQ
secara efektif. Dengan kata lain, EQ mengarah pada IQ. Kabar baiknya,
tak seperti IQ yang umumnya dianggap tak bisa ditingkatkan alias sudah
merupakan bawaan lahir, EQ diyakini bisa dilatih dan ditingkatkan terus
menerus.
Para ahli saat ini terus meneliti dan mencari kiat-kiat peningkatan
EQ ini. Kiat tersebut menyangkut kemampuan kita untuk: mengonfrontasikan
emosi-emosi kita —dan bukan lari dari padanya—mengenalinya, berdialog
dengannya, dan akhirnya- bukan hanya berdamai, melainkan
mengendalikannya agar tidak destruktif dan justru menjadi positif.
Belakangan diperkenalkan lagi jenis lain ukuran kcerdasan, yakni
Spiritual Quotient (SQ). Pengembangan teori SQ dirintis oleh
suami-isteri Danah Zohar dan Ian Marshal. Jika EQ mengajar kita bersikap
dalam setiap situasi emosional, SQ memberi makna bagi segenap
tindakan-tindakan kita.
Dengan kata lain, EQ terkait dengan perasaaan- bersifat lebih praktis(know how), sedangkan SQ terkait dengan sikap-sikap reflektif(know why)
SQ terkait dengan adanya kebutuhan manusia untuk merasa tentram
karena merasa memahami makna dan hakikat hidup, yakni dengan mengetahui
ke arah mana hidupnya menuju dan merasa memiliki “teman” yang bisa
diandalkan dalam segenap pancaroba kehidupan. “Teman” yang dimaksud di
sini barangkali adalah, seperti yang, sejak lebih seabad lalu,disebut
oleh William James, “Sang Sahabat Agung” (The Great Socius), yakni Tuhan.
Zohar dan Marshall mengklaim bahwa SQ merupakan landasan yang
diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Dengan kata
lain, SQ-lah yang mengarahkan IQ dan EQ. Dalam khazanah keagamaan, SQ
terkait erat dengan pendidikan jiwa atau pembersihan hati melalui
berbagai latihan/disiplin spiritual yang, pada gilirannya, akan
melahirkan akhlak yang mulia.