Seorang kawan menceritakan anaknya yang selalu mengeluh dan tidak
berminat sekolah kembali karena teman-teman di sekolahnya mengatakan
“goblok” kepada anaknya hanya karena tidak bisa mengerjakan matematika.
Mungkin juga, kejadian ini pernah kita alami waktu kita masih sekolah
sebelumnya baik di tingkat sekolah dasar maupun sekolah lanjutan.
Armstrong –salah satu ahli multiple intelligencies- pernah berujar,
jangan pernah kamu ajari burung untuk berenang, ikan untuk terbang, maka
yang ada burung akan kehilangan kemampuannya untuk terbang, dan ikan
tidak akan mampu berenang kembali. Artinya, bahwa setiap individu telah
memiliki kecenderungan dan gaya yang berbeda-beda. Maka, vonis-vonis
terhadap anak seperti kawan tadi sangat lah tidak dibenarkan.
Demikian juga anak-anak, mereka dilahirkan dengan segala
kesempurnaan yang diberikan Tuhan, dan juga dengan lautan potensi yang
berbeda-beda. Yang tentunya tidak sama satu dengan yang lainya.
Sering kita melihat dan merasakan teman-teman waktu sekolah, yang
matematika maupun IPA nya diatas rata-rata, ternyata kehidupan mereka
tidak lebih baik dari pada teman yang lain. Bahkan, sering kita jumpai,
teman bermain kita, sering dapat julukan“nakal”, “bodoh” dan
sebagainya, ternyata diantara mereka banyak juga, telah menjadi
pengusaha yang sukses, pimpinan perusahaan besar, bahkan menjadi seorang
ulama.
Ini membuktikan yang sebelumnya disebut cerdas hanya terbatas pada
anak-anak yang dapat nilai baik dalam hal matematika dan sains saja,
tetapi pada kenyataan saat ini bukti-bukti bahwa kecerdasan hanya
sesempit itu sudah bergeser dan menjadi lebih luas. Pandangan ini
diwakili oleh Howar Gardner yang memberikan gambaran anak-anak atau
setiap inividu memiliki kecerdasan yang beragam, paling tidak;
kecerdasan logis dan matematik, linguisitik, kinestetik, intrapersonal,
interpersonal, spasial, musical dan natural.
Implikasi teori ini tentu akan sangat besar, pertama, tidak mungkin
anak-anak yang memiliki kecerdasan berebeda kemudian di perlombakan atau
diadu dengan ukuran sama. Artinya, apakah mungkin anak-anak dengan
kecerdasan musical lebih baik versus anak-anak yang kinestetiknya
dominan diadu lomba bermain piano, ataupun sebaliknya dengan lomba
bermain sepak bola. Maka, yang mungkin adalah mengadu dengan level
kecerdasannya sama atau setidaknya mirip.
Kedua, dengan paradigma ini maka penilaian dalam belajar pun juga
harus tidak sama, penilaian harus menekankan pada proses bukan pada
hasil, ini yang disebut ountentik assessment. Anak yang starting point kemampuan
menghitungnya 1 dan teman kelasnya yang sudah di level 5 kemudian dalam
proses belajar yang pertama memiliki hasil akhir 5 sementara yang kedua
adalah 7, maka yang harus mendapatkan nilai lebih baik adalah anak yang
pertama.
Implikasi yang ketiga adalah, setiap insan pendidik tentu harus
memahami segala potensi yang dimiliki oleh anak-anak didiknya, artinya
pemetaan terhadap kecerdasan anak-anak menjadi penting. Sehingga,
pendekatan dalam mengajar juga akan sangat beragam, tidak mungkin
anak-anak yang memiliki kecerdasan kinestettik yang tinggi, akan mampu
menyerap pembelajaran dikelas dengan model ceramah, yang lebih sepadan
dengan kondisi anak ini adalah belajar yg menggunakan media gerakan
tubuhnya dan moving class, karena dengan gerak dan selalu aktif
memuat anak seperti ini lebih nyaman dengan dirinya. Begitu juga
anak-anak yang kecerdasan naturalnya lebih tinggi, akan lebih mudah
menerima pembalajaran apapun ketika di luar ruangan dan bersanding
dengan alam sekitar dan lingkungan. Dengan kondisi yang sedemkian rupa,
guru dituntut memiliki pemahaman komprehensif terhadap metode pengajaran
yang beragam yang disesuaikan dengan kondisi anak-anak di dalam kelas.
Keempat, untuk orang tua tidak perlu memakasakan diri untuk berfikir
seperti dirinya kepada anak-anaknya. Sejalan dengan ungkapan Imam Ali
“didiklah anak-anakmu untuk waktu yang tidak sama denganmu”. Karena
potensi dan kecerdasan anak berbeda-beda, kita sebagai orang tua mesti
membekali diri anak-anak kita dengan cara-cara yang berbeda. Semua tidak
akan pernah tahu masa depan seperti apa, tetapi kita tahu bahwa dengan
keaneka ragaman dan penyelesaian masalah dengan baik, membuat anak-anak
akan mampu survive, dan inilah yang disebut Rhenald Kasali sebagai kurikulumnya orang tua.
Penting bagi kita bersama dengan potensi anak yang beragam dan
kondisi zaman yang semakin tidak terprediksi, bergandengan tangan untuk
membuat anak-anak kita menjadi kokoh dan mampu menyelesaikan diri
sendiri syukur-syukur untuk lingkungan sekitar. Tidak terbatas pada
sekolah tetapi juga orang tua dan masyarakat pada umumnya, memberikan
tempat yang layak atas heterogenitas anak-anak, sehingga anak-anak
tumbuh menjadi insan yang bahagia dan memiliki akhlaq mulia. Wallahu
a’lam.
by Edi Slamet @edislatem12
by Edi Slamet @edislatem12